Perang Kamang yang terjadi pada tanggal 15 Juni 1908 adalah peristiwa bersejarah. Suatu sejarah heroik dan patriotik yang pernah dicatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah Republik Indonesia. Dimana pada waktu itu telah terjadi perlawanan rakyat yang sangat gigih dan sengit dengan senjata utamanya adalah semangat yang membara untuk menentang penjajah.
Kalau kita berbicara tentang *Perang Kamang,* berarti kita membicarakan peristiwa yang terjadi di Kamang dan sekitarnya 106 tahun silam. Puncaknya yang terjadi pada tanggal 15 Juni 1908. Sebelum disampaikan sekilas kronologis perang tersebut, untuk tidak menimbulkan salah pengertian, perlu dijelaskan mana Kamang yang dimaksud. Karena pada waktu itu dalam pemerintahan memakai sistem Kelarasan, ada Laras Kamang yang mempunyai kawasan meliputi 4 (empat) kenagarian yaitu : Kamang, Bukik (Pauh-Bansa), Suayan Dan Sungai Balantiak. Yang menjadi obyek sejarah di sini adalah Kenagarian Kamang yang ada pada waktu itu, yakni *Kamang Hilir sekarang*, bukan kamang seperti sebutan sekarang ini.
Sebutan Kamang Hilia dan Kamang Mudiak dimulai semasa perang mempertahankan kemerdekaan tahun 1949. Disini inti uraiannya lebih menitikberatkan keberadaan masyarakat Kamang dan pimpinannya menentang penjajah, sehingga terjadi penyerangan terhadap serdadu Belanda yang berada di Kampung Tangah oleh Pasukan Rakyat Kamang. Walaupun demikian, waktu terjadinya pertempuran dengan Tentara Belanda di Kampung Tangah Anggota pasukan rakyat juga ada yang berasal dari luar Kamang. Apa yang disampaikan disini tidak ada rekayasanya, *mangaji lai diateh surek maratok lai diateh bangkai*. Yang disampaikan adalah *reality history*, bukan *make up history*. Reality history (realita sejarah) adalah mencari kebenaran sejarah, sedangkan make up history adalah sejarah yang mengada-ada menuju kepada pemitosan sejarah. Baiklah di sini akan disampaikan secara ringkas dan tepat kronologis Perang Kamang tersebut.
Peraturan pungutan pajak (Incomstan Belastting) sebagai pengganti tanaman kopi dan kerja paksa, setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Pada tanggal 1 Maret 1908 Gubernur Belanda di Batavia secara resmi mengumumkan mulai berlakunya peraturan Pajak (Incomstan Belastting) tersebut untuk seluruh wilayah Indonesia dan segera dilaksanakan. Peraturan ini telah merobah suasana kehidupan di Indonesia umumnya dan Minangkabau khususnya. Peraturan ini disebarluaskan ketengah masyarakat melalui sitem pemerintahan yang ada pada waktu itu. Peraturan ini dengan tegas ditolak oleh seluruh rakyat Minangkabau. Minangkabau bergejolak. Pemerintah Belanda gagal merebut pengaruh Laras untuk pelaksanaan Belasting. Pada tanggal 16 Maret 1908 Tuan Luhak Agam J.WESTENNENK mengumpulkan semua Laras di kantornya di Bukittinggi (sekarang SMAN 2 Bukittinggi). Dalam pertemuan tersebut J.WESTENNENK menekan para Laras supaya Belasting segera dilaksanakan. Dari sekian banyak Laras yang hadir hanya LARAS KAMANG Garang Dt.Palindih yang menyanggah dengan tegas dan gigih bahwa Belastting tidak bisa dilaksanakan karena membebani rakyat. Rapat menjadi kacau, tidak ada keputusan pelaksanaan Blasting. Para Laras berjanji akan membicarakannya dengan Ninik Mamak, alim ulama dan cerdik pandai terlebih dahulu.
Garang Dt.Palindih bersama dengan cerdik pandai yang bernama A Wahid Kari Mudo membawa masalah ini kepada Basa nan Barampek, seterusnya dibawa dalam sidang lengkap Ninik Mamak Kanagarian Kamang. Atas dasar *cupak nan salingka suku, adat nan salingka nagari*, dimana Kamang sebagai penerus adat Koto Piliang, hiearkhinya adalah Basa nan Barampek, Pucuak nan Duo Puluah duo, Bungka nan Tangah Lapan Puluah merupakan pimpinan tertinggi tradisional di tengah-tengah masyarakat telah membuat kesepakatan untuk tidak membayar belasting. Kalau menentang belasting berarti melawan pemerintah kolonial. Akhirnya dalam sidang Kerapatan Adat Nagari Kamang yang dilangsungkan beberapa hari kemudian sepakat “*MENGANGKAT M. SALEH Dt.RADJO PENGHULU SEBAGAI PIMPINAN PERLAWANAN MENGHADAPI BELANDA*.
Untuk mensosialisasikan Blasting kepada masyarakat, Westennennk sudah berulangkali mengunjungi Tuangku Lareh Kamang. Rapat diadakan di rumah Angku Lareh di Joho. Angku Lareh yang bijaksana selalu menghadapi Westennenk bersama pemimpin rakyat, baik dari golongan adat, agama dan cerdik pandai. Dalam suatu pertemuan dengan Westennenk pada tanggal 20 April 1908 yang dihadiri oleh para pemimpin dan rakyat. Kari Mudo menyampaikan pidato bahwa siapa yang membayar pajak adalah kafir. Ikut juga manyambah kato Dt.Adua, Dt Rajo Alam dari Pauh dan Dt.Makhudun dari Ilalang. Yang paling keras memberikan kecaman kepada Westennenk adalah Dt.Rajo Pangulu. Atas nama rakyat Kamang dia menyampaikan protes keras, bahwa blasting sama sekali tidak sesuai dengan kehidupan yang miskin dan melarat akibat tanaman kopi dan kerja rodi yang berketerusan. Dia meminta supaya keputusan itu dirobah kembali. Setelah melalui perdebatan yang alot, Dt.Rajo pangulu sampai pada suatu kesimpulan yang berupa tantangan kepada pemerintah Kolonial. Rakyat tidak akan membayar pajak. Sekarang mau apa?
Esa hilang dua terbilang, musuh tidak dicari bertemu pantang dielakan. Dt.Radjo Pangulu sebagai *“**the man behind the gunnya”* Perang Kamang dalam waktu singkat berhasil menarik H.Abdul Manan, seorang tokoh ulama yang sangat disegani oleh kawan maupun lawan, untuk sama-sama berpijak diatas ajaran Islam dalam membimbing rakyat ke medan perjuangan. H.Abdul Manan berasal dari Bansa (Nagari Bukik = sekarang Kamang Mudiak) yang menikah dengan seorang gadis di Kampung Baru Bukik Kamang dari pesukuan Sikumbang. Pada waktu itu beliau sedang giat mengajar mengaji di Bungo Tanjung Jorong Bancah Kamang. Sebagai urang sumando oleh Dt.Rajo Penghulu ditambah dengan pandangan yang sama terhadap penjajahan membuat hubungan mereka semakin erat. Dt.Radjo Penghulu, Kari Mudo dan H. Abdul Manan, bersama-sama dengan pemimpin Kamang lainnya antara lain, Dt.Siri Marajo H.M.Amin, Dt.Mangkudun dan Siti Asiah dari kaum ibu, berhasil menggelorakan semangat rakyat, berikrar memusatkan perlawanan dan memekikan anti penjajahan, dengan semboyan *“perang adalah jalan yang terbaik dan bukan sia-sia sekalipun kalah”, *sehingga pasukan rakyat seolah-olah mempunyai kekuatan gaib menghadapi perang menempuh maut tanpa ragu.
Sementara itu Wahid Kari Mudo bersama Haji Jamik pada pertengahan Mei 1908 berusaha menemui Dt.Mudo di Payo Kumbuah, Syekh Koto Baru dan Pado Kayo di Suayan untuk meminta petuah dan sekaligus penangkal untuk persiapan menghadapi peperangan yang tidak lama lagi. Sebagai persiapan lebih lanjut diadakan rapat di Surau Tuangku Pincuran yang dihadiri oleh Dt.Makhudun, Kari Mudo, Dt.Rajo Pangulu Tuangku Sutan dan Dt.Tan Basa (Penghulu Suku dari Babukik), dengan kesesuain paham lagi untuk tidak membayar Pajak. Pada tanggal 2 Juni 1908 di Mesjid Taluak (Kamang) diadakan rapat yang dihadiri oleh utusan-utusan dari Agam Tuo, Lubuk Basung, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar dan lain-lain. Rapat langsung dipimpin oleh M.Saleh Dt.Rajo Pangulu. Semua utusan sepakat untuk melaksanakan apa yang telah diperbuat di Kamang untuk menentang Belanda, dengan keputusan rapat *Kebulatan Tekad Melancarkan Aksi Untuk Menentang Belanda* *dan sekaligus menentukan tugas masing-masing.* Dt.Rajo Pangulu bersama-sama dengan tokoh Kamang lainnya menggerakan dan menghidupkan semangat patriotisme di Kamang serta memesan senjata ke Salo. H.Abdul Manan membawa kata sepakat dan menyusun perlawanan di Bukik (Bansa-Pauh = Kamang Mudiak sekarang), Wahid Kari Mudo memberikan ransangan kepada kaum muda disamping sebagai intelijen. Semenjak itu Dt.Rajo.Pangulu mempersiapkan diri bersama seluruh rakyat Kamang menunggu perang yang tidak mungkin dihindarkan lagi. Dia dan istrinya Siti Asiah sering turun bergabung dengan masyarakat banyak sambil mengorganisir persatuan yang kuat dalam usaha menciptakan syarat-syarat perjuangan yang berhasil. Dalam saat yang semakin kritis semangat jihad dikorbarkan terutama di Mesjid-Mesjid dan Surau-Surau. Penduduk terus dimotivasi dalam peningkatan moril, latihan silat digiatkan, begitu pula dengan ilmu batin tahan senjata tajam. Halaman mesjid dan surau dijadikan tempat latihan. Pada tanggal 11 Juni 1908 diadakan pertemuan di surau H.Abdul Manan, yang dihadiri antara lain Haji Amat (putra H.Abdul Manan), Maruhun Putiah, Dt.Rajo Pangulu, si Hitam, Dt.Marajo, Siti Asiah dan murid/pengikut H.Abdul Manan. Beliau meminta semua jangan ragu mati syahid dan kalau dia sendiri tewas agar perjuangan diteruskan. Dia yakin dapat menghadapi Belanda dengan segala akibatnya walaupun pada saat-saat terakhir banyak pengikutnya yang menarik diri.
Pada hari Senin tanggal 15 Juni 1908 seorang warga Magek datang ke Kantor Laras untuk membayar Belasting. Ia langsung dihadang oleh sekelompok warga setempat, diancam akan dibunuh jika ia tetap membayar belasting, karena ia melanggar tekad bersama untuk menentang Belanda. Laras Magek (yang bernama Warido) marah dan segera menyampaikan hal ini kepada J.Westennenk dan meminta supaya pembangkang ditangkap. Westennenk menghubungi Gubernur Hecler untuk meminta petunjuk, hanya sepatah kata yang diucap Hecler sesuai perintah Gubernur General Van Heutez, yaitu “serbu”.
Westennenk mengerahkan 160 pasukan, 30 orang masuk dari Gadut yang dipimpin oleh Letnan Heyne dan Cheriek; 80 orang masuk dari Tanjung Alam dipimpin oleh J.Westennenk; 50 orang masuk lewat Biaro dipimpin oleh Letnan Boldingh dan Letnan Schaap. Di sepanjang perjalanan terjadi perlawanan rakyat, diantaranya yang cukup hebat adalah di Magek yang dipimpin oleh Dt.Perpatiah. Menyinggung sedikit tentang perlawanan di Magek dibawah pimpinan Dt.Perpatiah; Laras Magek setelah melapor kepada J.Westennenk bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Boldingh dan Letnan Schaap yang masuk lewat Biaro. Sesampai di Kubualah pasukan ini membelok ke Magek. Pasukan inilah yang terlibat pertempuran dengan pasukan rakyat Magek dibawah pimpinan Dt.Perpatiah. Dalam pertempuran tersebut Dt.Perpatiah berhasil membunuh Laras Warido sebelum ia tewas ditembus peluru Pasukan Belanda. Dt.Parpatiah dan beberapa pengikutnya gugur sebagai Pahlawan Bangsa.
Pada senja hari, Belanda mulai bergerak mengepung rumah H. Abdul Manan untuk menangkapnya, karena pada masa itu Belanda juga beranggapan yang menjadi dalang pergolakan adalah kaum agama, tetapi beliau berhasil meloloskan diri ke Kamang. Sesampai di Kamang H. Abdul Manan segera menemui Dt. Rajo Penghulu untuk berkonsultasi. Dt.Rajo Pangulu mengadakan rapat kilat yang dihadiri oleh Kari Mudo, H.Abdul Manan dan beberapa tokoh pejuang Kamang lainnya membahas perkembangan yang kritis dan menyusun kesiagaan seluruh rakyat guna mengobarkan perang sabil. Menjelang pukul 00.00 diterima informasi bahwa pasukan Belanda berkumpul di Kampung Tangah (perbatasan Kamang dengan Bukik). Dari segi militer daerah ini memang strategis. Selain dikelilingi oleh persawahan yang membuat pemandangan ke jalan raya satu-satunya, dan juga penduduknya tidak seberapa. Ini disadari benar oleh Dt.Rajo Penghulu. Dia mulai menyiapkan pasukan tempur; beduk, tong-tong dan bunyian lainnya dibunyikan pertanda perang akan dimulai.
Pasukan rakyat yang langsung dipimpin oleh M.Saleh Dt.Rajo Penghulu terlebih dahulu berkumpul di Mesjid Taluak untuk menerima penjelasan/instruksi penting sebelum dibagi dalam beberapa kelompok. Setelah selesai Shalat berjemaah lalu ditutup dengan pekik *Allahu Akbar, Laailahaillallah*, mereka menuju Kampung Tangah menyerang pasukan Belanda. Dalam rombongan tersebut ikut 2 (dua) orang wanita yaitu Siti Asiah istri Dt.Rajo Penghulu dan Siti Anisah istri Nan Basikek. Dikampung Tangah inilah terjadi “*parang basosoh*” antara pasukan rakyat dengan serdadu Belanda. Pasukan rakyat yang hanya dengan bersenjata tradisionil seperti pedang, parang, pisau, kampak dan lain lain, melawan tentara Belanda yang sudah memakai senjata modern. Pada serangan gelombang pertama yang berlangsung sampai pukul 02.00 dini hari itu, bintang J.Westennenk sebagai pelaksana kolonial terlindung oleh bintang *M.Saleh Dt.Rajo Pangulu *sebagai pembuka perang. Pasukan rakyat memperoleh kemenangan gemilang lantaran semangat dan koordinasi yang tinggi. Tentara Belanda berhasil dibuat kucar kacir. Tetapi J.Westennek sempat meloloskan diri dan minta bantuan ke Bukittinggi. Pasukan inilah nantinya yang telah menimbulkan malapetaka terhadap pasukan rakyat, karena bertepatan fajar menyingsing mereka datang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga babak kedua perang basosoh segera meledak kembali. Akan tetapi lantaran pasukan itu terlalu banyak dan segar-segar, dilengkapi pula dengan senjata modern, akhirnya pasukan rakyat terpaksa mengundurkan diri. Dan bersamaan itu, berhentilah kegaduhan suasana perang bagai disapu dari bumi Kampung Tangah. Yang tinggal hanyalah keheningan yang ditingkah erangan suara manusia yang luka-luka di tengah desau angin dedaunan. Nun diufuk timur, warna keemasan kelihatan menebari permukaan langit dan burung-burungpun mulai berkicau seperti hari-hari sebelumnya. Maka tercatatlah pagi itu sebagai sejarah berkabut di hati setiap bangsa Indonesia di dalam menentang colonial Belanda. M.Saleh Dt.Rajo Pangulu bersama 70 orang anggota pasukan rakyat syahid sebagai pahlawan bangsa, diantaranya terdapat dua orang srikandi yaitu siti Asiah istri Dt.Rajo Pangulu dan siti Anisah. Selain itu mengalami cacat tercatat 20 orang.
Setelah berlangsung penyerangan gelombang pertama oleh Pasukan Rakyat Kamang terhadap tentara Belanda di Kampung Tangah. Pasukan rakyat Nagari Bukik (Bansa-Pauh) yang digerakan oleh H.Abdul Manan dan kawan-kawan juga ada yang ikut bergabung dengan Pasukan Rakyat Kamang menyerang Tentara Belanda tersebut. Akan halnya H.Abdul Manan bersama para pengikutnya langsung ditembak mati keesokan harinya dikampung kelahiran beliau di Bansa. Pasukan rakyat dari nagari ini yang tewas dan luka adalah sebanyak (menurut catatan Westennenk tewas sebanyak 13 orang dan luka 3 orang). Semua Pahlawan yang tewas dari nagari ini, baik yang tewas ikut Perang Basosoh di Kampung Tangah maupun yang tewas di Bansa, semuanya dimakamkan di Kampung Budi Bansa. Sekarang makam tersebut telah masuk *Situs Sejarah*dengan nama *MAKAM ABDUL MANAN*. Beberapa pemimpin rakyat lainnya dari nagari ini ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda, diantaranya H.Ahmad Marzuki.
Semua pejuang dari Kamang yang gugur dibawa kembali ke Kamang dan dimakamkan dekat mesjid Taluak. Makam tersebut telah resmi menjadi *Makam Pahlawan*. Diresmikan oleh: Wampa Bidang Pertahanan dan Keamanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB). Bapak Jendral A H Nasution pada tanggal 15 Juni 1963, dengan nama *MAKAM PAHLAWAN PERANG KAMANG 15 JUNI 1098.*Beberapa pejuang lainnya seperti Garang Dt.Palindih, Kari Mudo, Dt.Siri Marajo, Pandeka Sumin, H.M.Amin dan lain-lain ditangkap Belanda keesokan harinya, kemudian ditahan diberbagai penjara seperti: Padang, Magelang, Makasar, Batavia. Para pemimpin ini meninggal dalam pembuangan, Dt.Siri Marajo meninggal di penjara Glodok, Pandeka Sumin di penjara Makasar, A.Wahid Kari Mudo di Jakarta.
Jadi disini jelaslah yang disebut Perang Kamang itu ialah: *“Suatu pertempuran yang kejam*, *parang basosoh di Kampung Tangah antara pasukan Belanda yang berada di sana dengan pasukan rakyat yang datang menyerbu dari Kamang **(Kamang Hilir sekarang) **dibawah pimpinan M.Saleh Dt.Rajo Penghulu”.* Realitanya memang begitu, begitulah jalan sejarah tidak mungkin dirubah-rubah lagi.
Sebagaimana telah diuraikan diatas. Sebelum terjadinya penyerangan terhadap tentara Belanda ke Kampung Tangah oleh Pasukan Rakyat Kamang, juga telah terjadi perlawanan terhadap pasukan Belanda di Magek. Semua pahlawan yang telah gugur, baik yang berasal dari Magek, Bukik (Kamang Mudiak sekarang) dan Kamang (Kamang Hilir sekarang) dan daerah lainnya. Batu nisannya yang sampai saat ini bisa kita saksikan adalah sebagai Pahlawan Bangsa, yang jasanya perlu kita kenang dan kita hormati.
Referensi:
1. Cerita Pewaris Sejarah Perang Kamang
2. Kamang Dalam Lintasan Sejarah Perjuangan Bangsa, Tim Penyusun Mongrafi Kamang, 1995.
3. Kamang Dalam Pertumbuhnan dan Perjuangan Menentang Kolonialis, A.Sutan Majo Indo, 1996
4. Pemberontakan Pajak 1908, Rusli Amran, 1988.