Sejarah Nagari

Asal Usul

Tradisi nenek moyang berpindah-pindah tempat untuk mencari pemukiman baru dengan prospek lebih baik, agaknya sudah menjadi hukum alam dan tuntutan sejarah manusia dimuka bumi. Bukti ini telah di perkuat oleh kisah-kisah perantauan yang terjadi disemua benua, seperti kisah rombongan suku moaden yang bertolak dari sekitar Laut Hitam, Pencilvania dsb, menembus steppe Hongaria yang luas dengan gerobak kayu di tarik kuda, menuju daerah baru di Eropah Barat. Atau juga perantau Colombus dengan kapal layarnya mengarungi lautan demi lautan, yang kemudian menemukan Benua Amerika, serta banyak lagi kisah-kisah lain yang dapat dinilai sebagai pelopor sejarah Dunia dimana kelak melahirkan manusia-manusia pengukir sejarah.

Demikan pula halnya dengan beberapa kisah perantauan yang terjadi di Minangkabau, tepatnya ketika kerajaan yang berpusat di Batu Sangkar itu mulai berkembang sekitar abad ke X. Tuntutan ini ternyata kemudian ikut menciptakan sejarah sebagai hasil dari pengambaran sebahagian penduduknya dalam mencari daerah baru ke berbagai penjuru disekitarnya. Antara lain adalah sejarah satu daerah YANG SAMPAI SEKARANG BERNAMA KAMANG.

Secara etimologi asal usul nama Nagari Kamang dapat ditelusuri, dimana menurut Tambo Nagari Kamang yang disesuaikan dengan sejarah Kerajaan Minangkabau, yang mengalami masa jayanya pada abad X Masehi, beberapa kelompok pengembara dari Pagaruyung mencari daerah baru sebagai perluasan wilayah. Mereka turung lewat Tabek Patah terus ke Bukik Lantak tuo, disini mereka memecah menjadi beberapa rombongan kecil. Salah satu rombongan tersebut meneruskan perjalanan menempuh hutan rimba, sampai mereka menemukan sebuah sungai yang mengalir dari barat ketimur, mereka menelusurinya untuk mencari hulunya sampai pada pinggiran sungai yang berbatu-batu mirip terowongan dimana air keluar dari terowongan tersebut. Perjalanan dilanjutkan sampai mereka menemukan air berputar masuk terowongan bawah bukit, disinilah mereka beristirahat dan menyusun kelompok berdasarkan pasukuan yang mereka bawa dari pagaruyung yaitu 4 (empat) pasukuan adat.

Perjalanan dilanjutkan sampai pada bebatuan yang menjulang tinggi yang mereka namai Batu Bajolang, setelah menerima petunjuk dari pimpinan rombongan, mereka menuju sebuah dataran tinggi dimana disanalah tumbuh batang kayu besar bagaikan gobah yang akhirnya daerah ini dinamai Gobah. Disinilah mereka mulai menetap dan melaksanakan kegiatan “mancancang-malateh, manatak jo manaruko”.

Dibawah batang kayu besar itulah juga dilaksanakan musyawarah untuk segala sesuatu keputusan yang diambil untuk kelansungan hidup, pimpinan rombongan biasanya meminta pendapat kepada yang hadir dengan pertanyaan “kamanga wak lai..?” dengan istilah “kamanga” ini kemudian pohon kayu tersebut mereka namai Kayu Kamang, setelah melalui proses sekian lama akhirnya mereka sepakat menamai daerah itu “Kamang”. Disinilah dimulai pembentukan suatu Nagari yang dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat Minang yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu.

Seiring dengan telah dibukanya daerah baru, maka mulai pula masuk rombongan dari daerah lain, diantaranya Sariak Sungai Pua, Canduang, Koto Laweh, Biaro, Sungai Janiah dan lain-lain. Sesuai dengan perkembangan penduduk dan kebutuhan akan lahan, penyebaran penduduk lebih besar kearah utara dan barat yang ditata dengan hukum adat. Perkembangan selanjutnya mereka membuat kata sepakat untuk menentukan batas dengan cara “kamananam aua sarumpun diateh tanah nan sabingkah”, lokasi aur/buluh yang akan ditanami: sebelah timur di bukit baka, sebelah barat di gurun capo, sebelah selatan mulai dari perbatasan salo sampai Parak Rajo (perbatasan dengan Nagari Bukik), sebelah utara dipuncak bukik panjang, adapun Nagari yang ada di sekelling Nagari Kamang yaitu; Salo, Magek, Bukik dan Suayan. Itulah kawasan yang mereka jadikan sebagai wilayah Nagari;

badusun batarak,

bakorong bakampuang,

basasok bajurami,

balabuah batapian,

basawah baladang,

barumah batanggo,

babalai bamusajik,

bapandam bapakuburan,

bapadang bagalanggang.

Asal dan keturunan orang yang 4 (empat) niniak ini, sekarang dikenal dan tergabung kedalam 4 (empat) suku, yaitu :

1. Suku adat Sikumbang, turun/berasal dari Canduang, menetap di Kampuang Balai Panjang.

2. Suku adat Koto, turun/berasal dari Biaro menetap di Kampuang Rumah Tinggi.

3. Suku adat Jambak, turun/berasal dari Kapau menetap di Kampuang Kubang.

4. Suku adat Pisang, turun berasal dari Banuhampu menetap di Kampuang Taluak

Dalam tiap-tiap suku ada beberapa pecahan suku adat sebagai berikut :

1. Suku Sikumbang terbagi 3 suku adat :

a. Sikumbang Mansiang, niniaknya Dt Marajo turun dari Canduang.

b. Sikumbang Gadang, niniaknya Dt Rajo Pangulu turun dari Salo

c. Sikumbang Tali Kincia, niniaknya Dt Rajo Sikumbang turun dari Salo

2. Suku Koto terbgai atas 6 suku adat :

a. Koto Rumah Tinggi, niniaknya dari Dt Tuo turun dari Biaro.

b. Koto Rumah Gadang, niniaknya Dt Maka turun dari Biaro

c. Koto Sariak, niniaknya Dt Majoindo turun dari Sariak/Sungai Pua

d. Koto Tibarau, niniaknya Dt Singo Rapi turun dari Ampek Angkek

e. Koto Kepoh, niniaknya Dt Sampono Basa turun dari Ampek Angkek

f. Koto Tangkamang (Koto Nan Batigo) niniaknya :

1) Dt Nan Laweh 2) Dt Indo Marajo 3) Dt Kiraiang Semuanya turun dari Biaro

Suku Koto disebut juga Koto Nan Salapan ( koto yang delapan) terdiri dari suku koto Nan Balimo dan suku koto Nan Batigo.

Suku Jambak terdiri dari 7 suku adat :

a. Suku Jambak Kubang, niniaknya Dt Palimo turun dari Kapau

b. Suku Jambak Puhun, niniaknya Dt Rajo Endah turun dari Mungka/ 50 Kota

c. Suku Jambak Pasia, niniaknya Dt Tumangindo turun dari Sungai Janiah/Baso

d. Suku Jambak Kutianyia, niniaknya Dt Nan Basa turun dari Mungka

e. Suku Jambak Ujuang Tanjuang, niniaknya Dt Bajangguk turun dari Kubang/Baso

f. Suku Jambak Tanjuang Mangkudu, niniaknya Dt Bunsu turun dari Kubang.

g. Suku Jambak Tangkamang, niniaknya Dt Tan Marajo turun dari Kubang.

Suku Pisang terdiri dari beberapa suku adat :

a. Suku Pisang, niniaknya Dt Mangukudun turun dari Banuhampu

b. Suku Guci, niniaknya Dt Sati turun dari Ampek Angkek

c. Suku Caniago, niniaknya Dt Parpatiah Nan Sabatang turun dari Banuhampu

d. Suku Simabua, niniaknya Dt Bagindo turun dari Tilatang.

Suku adat pisang tersebut diatas, disebut juga suku Ampek Ibu, yang kemudian lahirlah suku Payobada yang berindukan pada suku Simabua pucuaknya, dan suku Bodi yang berindukan Caniago Pucuaknya. Hal ini disebut dalam nagari sebagai Pasukuan Ampek Ibu, atau berarti berasal dari 4 orang ibu dahulunya.

Zaman Perang Paderi

Menutup akhir abad ke 18 dan memasuki abad ke 19, adalah masa- masa yang sangat tragis dialami pemerintah kolonial Belanda. Selain perlawanan gigih yang terus menerus diberikan rakyat Indonesia, juga hasil-hasil bumi yang akan di jual ke Pasar Eropa sering dibajak oleh kelompok-kelompok radikal yang sangat kejam, memiliki armada dan persenjataan kuat, sehingga mengakibatkan defisit yang besar di dalam keuangan pemerintah.

Salah satu langkah penting yang di ambil Napoleon waktu itu adalah segera mengirim seorang Belanda berwatak keras bernama Herman William Daendels untuk menjabat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, sekaligus dalam upaya mempertahankan pulau jawa dari blokade Angkatan Laut Inggris. Namun sebagaimana tertulis dalam sejarah usaha ini sama sekali tidak mampu menolong posisi Belanda yang semakin terjepit, karena sekitar Tahun 1811, Lord Minto Gubernur Jenderal Inggris di Calcutta India dengan resmi mengumumkan berakhirnya kekuasaan Belanda atas pulau Jawa diganti dengan kekuasaan Inggris.

Sementara itu pihak Inggris yang sudah membuka kantornya di Padang, Air bangis dan pulau Cingkuak, tampaknya sama sekali tidak tertarik dengan konflik yang sedang berkecamuk antar golongan Agama (Paderi) dengan golongan kaum Adat. Mereka tetap berpijak pada komitmen tidak ingin mencampuri urusan anak negeri karena menganggapnya sangat riskan yang bisa mengancam posisi perseroan dagang Kompeni Hindia Timur Inggris sendiri. Begitu juga halnya manakala kemudian Padang di serahkan kembali pada Belanda pada Bulan Mei 1818 (berdasarkan perjanjian 1814), Du Puy yang memangku jabatan sebagai Residen di Padang, tidak peduli pada suasana disekitarnya, yang penting baginya waktu itu adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari perdagangan mereka.

Mungkin sudah menjadi kodrat bagi daerah permai, tenang dan ditaburi bukit barisan ini untuk terlibat ditengah pergulatan menentang penjajahan sebagai lembaran sejarah nasional. Sepanjang data-data yang diperoleh sekitar tahun 1803 sampai dengan 1827, Nagari Kamang termasuk salah satu pusat pergerakan Kaum Paderi hasil gemblengan tokoh-tokoh Harimau Nan Salapan, dimana untuk wilayah Kamang dikomandoi oleh Taunku Nan Renceh yang semula bertujuan untuk meluruskan kebiasaan kaum adat yang masih melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama Islam.

Dalam perkembangannya, saat gejolak pembaharuan memasuki pelosok Alam Minangkabau, Nagari Kamang tidak bisa menghindar dari ajang pertempuran yang saat itu dipimpin oleh ulama bernama Tuanku Bajangguik Hitam. Tuanku Bajangguik Hitam adalah orang Kamang asli yan dilahirkan di dusun Taluak dari pasukuan Jambak, dimasa muda beliau hingga menjelang akhir hayat merupakan tokoh santri yang sering berdakwah di Surau Taluak baik kepada masyarakat umum maupun kader Paderi. Selain sebagai tempat ibadah dan tempat menimba ilmu, Surau Taluak menjadi markas komando dari pergerakan Paderi di Nagari Kamang.

Setelah Belanda berhasil menaklukkan beberapa daerah disekitar Batusangkar dan Solok, mereka mulai menggerakkan militernya dalam rangka ekspansinya ke Agam dengan Kamang sebagai sasaran utama penyerangan, pertempuran ini berlangsung sangat alot dan memakan korban yang tidak sedikit baik dipihak Paderi maupun pihak Belanda. Ada dua faktor yang penyebab hal ini, yaitu 1). Faktor fanatisme/semangat tempur yang tinggi. 2). Strategi tempur yang diterapkan oleh pejuang Paderi yaitu: benteng alam berupa tanaman aur berduri yang tumbuh subur hampir menutupi bahagian selatan Kamang sejak dari batas Nagari Salo sampai ke batas Kamang Mudiak sekarang yang bernama Padang Rajo ditambah dengan adanya parit yang membentang sepanjang perbatasan tersebut, dua hal inilah yang menyulitkan Belanda untuk menembus pertahanan para Paderi serta pejuang Kamang. Untuk bisa menembus benteng hidup para pejuang, Belanda melakukan siasat dengan cara melemparkan uang koin/logam diantara tanaman aur/bambu sehingga tanpa disadari oleh para pejuang masyarakat mulai merambahi tanaman aur/bambu tadi untuk mengambil uang logam, dengan demikian benteng pertahanan mulai terbuka sehingga tentara Belanda mulai bisa memasuki wilayah Kamang, puncaknya adalah saat Belanda tidak menemukan Tuanku Bajangguik Itam kemudian mereka membakar markas komando pejuang, yaitu Surau Taluak.

Awal tahun 1832, karena masih sulitnya menguasai pertahanan pejuang Paderi, maka Belanda memulai serangan besar-besaran ke pusat pertahanan Paderi di Agam, untuk menaklukkan Kamang, Belanda menyerang dari 3 (tiga) jurusan yaitu dari Tilatang dipimpin oleh Mayor De Buus, dari Suliki dipimpin oleh Mayor De Quay dan dari arah Salo dipimpin oleh Letkol Elout yang dibantu oleh satu detasemen dibawah pimpinan Mayor Van der Tuuk. Dalam satu pertempuran, akhirnya Tuanku Bajangguik Itam gugur dan pada akhirnya pada bulan Juli 1832 seluruh daerah Agam jatuh dalam kekuasaan Belanda. Bulan Oktober 1832 wilayah Lima Puluh Kota juga dikuasai oleh Belanda ditandai dengan menyerahnya Tuanku Halaban. Setelah menguasai dua wilayah pertahanan Paderi ini Belanda mulai melancarkan serangan ke utara dalam usaha merebut Bonjol, namun baru pada tahun 1837 Belanda bisa menaklukkan Bonjol dengan ditangkapnya Tuanku Imam Bonjol pada saat perundingan dengan Belanda kemudian beliau diasingkan ke Menado.

 

Perang Kamang 1908

1. Dikeluarkannya Pungutan Belasting

Si tanah emas adalah sebuah istilah kaum kolonialis dan imperialis terhadap tanah jajahan yang di kuras secara tidak jujur, demi memperkaya diri sendiri. Pada Tahun 1830 Kerajaan Belanda memutuskan mengirim Van Den Bosch seorang ahli ekonomi yang keras untuk menjabat Gubernur Jenderal yang baru di Indonesia, yang kemudian terkenal dengan Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa). Dan tidak lama kemudian yaitu pada Tahun 1833, menyusul di berlakukan pula untuk Daerah Sumatera Barat satu peraturan yang baru di kenal dengan sebutan Plakat panjang. Adapun isinya sebagai antara lain:

1. Penduduk di bebaskan dari segala bentuk pajak yang berat;

2. Kerja rodi dihapuskan, diganti dengan tenaga bayaran;

3. Rakyat diwajibkan menanam kopi yang kemudian di jual dengan harga tertentu kepada pemerintah; 4. Belanda tidak akan mencampuri masalah anak negeri dan mengatur pemerintah nagari.

Cultuurstelsel jelas merupakan sebahagian usaha Belanda untuk keluar dari tekanan serius yang mereka hadapi dan memang ternyata untuk sementara mereka berhasil memenuhi tanggung jawab demi perbaikan ekonomi dalam negeri dan arah perkembangan industri yang semakin melangkah maju serta Saldo keuntungan yang masuk sudah lebih dari cukup.

Tetapi pada Tahun 1848, terjadi revolusi besar-besaran di Eropa termasuk Belanda. Undang- Undang Dasar di ubah, dimana parlemen sudah boleh angkat bicara dan melakukan kontrol terhadap kebijakan politik yang di lakukan pemerintah. Dukungan ini kemudian diperkuat setelah munculnya partaipartai yang bertendens liberal, malahan selanjutnya sepak terjang raja dalam pemerintahan dan keuangan boleh di awasi oleh Badan Perwakilan rakyat. Dan raja juga harus memberikan laporan secara priodik mengenai perkembangan wilayah koloni, sebagai pertanggung jawab terhadap parlemen.

Lantas berbagai sorotan mulai bermunculan dari penjuru dunia yang semuanya berisi kritikan-kritikan terhadap suasana yang berlaku di Indonesia. Terasa mulai ada goncangan ditengah keperkasaan cultuurstelsel, tetapi bukan semata disebabkan perubahan pandangan sebagian tokoh-tokoh bangsa Belanda terhadap rata-rata tanah jajahan, melainkan terutama akibat suasana pasar Eropa yang mengalami kelesuan. Hasil-hasil yang di bawa dari Indonesia tidak laku lagi. Satu demi satu komoditi mulai lenyap dari pasaran tahun 1856, indigo dihapuskan, menyusul kulit manis dan pala, sedangkan lada dan tembakau juga di hapuskan pada Tahun 1862. Delapan tahun kemudian disusul dengan pembekuan pengiriman tebu dan yang masih berlaku hanyalah kopi. Akhirnya pada Tahun 1870, secara resmi pemerintah Belanda menghapuskan sistem tanam paksa yang sangat sempat mengalami masa gemilang selama empat puluh Tahun.

Akibat suasana pasar Eropa yang mengalami kelesuan, hasil bumi Indonesia yang dibawa oleh Belanda tidak laku lagi, dengan hilangnya beberapa sumber pemasukan pemerintah kolonial, pada tahun 1888 ahli ekonomi belanda mengambil tiga kerangka penanggulangannya, yaitu : 1. Menaikan harga kopi di pasaran; 2. Memperluas lahan tanaman kopi; 3. Menghapus budi daya paksa dan menggantinya dengan pungutan pajak langsung. Sewaktu rencana ini didisampaikan kepada para pejabat Hindia Belanda untuk diminta pendapatnya, tidak ada satupun diantara alternatif ini yang mungkin dilaksanakan di Sumatera Barat. Akhirnya pemerintah belanda menugaskan Residen Sumatera Barat Michelsen beserta aparatnya untuk mengadakan riset langsung kepada rakyat. Hasilnya menurut dalam bentuk alasanalasan yang mendetil, sangat obyektif dan jelas tergambar bahwa praktis seluruh wakil rakyat menolak, lebih-lebih untuk membayar pajak langsung berupa uang dengan alasan situasi ekonomi yang tidak memungkinkan. Betapapun Michelsen berusaha memberikan pengertian tentang manfaat dan keringanan yang diberikan namun tidak bisa mempengaruhi pendirian rakyat banyak. Akhirnya Michelsen sampai pada kesimpulan supaya pungutan pajak langsung segera dilaksanakan. Dia yakin segala sesuatu bisa diatasi asal dibarengi dengan tindakan militer yang tidak setengah-setengah. Kesimpulan Michelsen ini ditolak oleh pemerintah tertinggi belanda dengan alasan perang Aceh masih berkobar.

Setelah melalui proses yang begitu lama dan dengan segala pertimbangan, maka dikeluarkanlah peraturan pajak itu tertanggal 9 Februari 1908 namun sampai di Padang pada tanggal 21 Februari 1908. Gubernur Belanda di Batavia secara resmi mengumumkan bahwa peraturan Pajak (Incomstan Belastting) harus berlaku tanggal 1 Maret 1908 untuk seluruh wilayah Indonesia dan segera dilaksanakan. Peraturan ini telah merobah suasana kehidupan masyarakat di Indonesia umumnya dan Minangkabau khususnya. Peraturan ini disebarluaskan ketengah masyarakat melalui sitem pemerintahan yang ada pada waktu itu yaitu melalui Kepala Laras.

Peraturan ini dengan tegas ditolak oleh seluruh rakyat Minangkabau. Pemerintah Kolonial Belanda gagal merebut pengaruh Lareh untuk pelaksanaan pungutan Belasting sehingga pada tanggal 16 Maret 1908, Tuan Luhak Agam J.WESTENNENK mengumpulkan semua Lareh yang ada di Agam Tuo di kantornya di Bukittinggi (sekarang SMAN 2 Bukittinggi). Adapun laras yang hadir adalah: Lareh Salo-Magek Agus Warido, Lareh Kamang Garang Dt. Palindih, Lareh Tilatang Jaar Dt. Batuah, Lareh IV Angkek Samat St. Sati, Lareh Kapau Dt. Rajo Labiah, Lareh Baso Adam Dt. Kayo, Lareh Candung Sahat Rajo Malenggang. Sementara dipihak Pemerintah disamping J.Westennenk juga dihadiri segenap stafnya. Dalam pertemuan tersebut J.WESTENNENK menekan para Laras tentang ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan segera sesuai bunyi perintah untuk wilayah kelarasan masingmasing. Pada dasarnya dalam teori memang penuh dengan prosedur-prosedur yang menarik dan merayu. Tetapi pada prakteknya jelas merupakan yang mendatangkan kesulitan, seperti salah sedikit saja atau terlambat selangkah saja bisa-bisa terjerumus kedalam penjara Belanda. Inilah yang penyebab Perang Kamang, disamping dendam tak mau dijajah. Dari sekian banyak Laras yang hadir hanya Laras Kamang Garang Dt.Palindih yang menyanggah dengan tegas dan gigih semua rencana yang diajukan oleh J.Westennenk dan Scheltema de Here. Bahwa Belastting tidak bisa dilaksanakan karena membebani rakyat yang selama ini selalu dalam kesulitan. Rapat menjadi kacau, tidak ada keputusan pelaksanaan Belastting. Para Laras berjanji akan membicarakannya dengan Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai terlebih dahulu. Berawal dari sanggahan Laras Kamang Garang Dt.Palindih dalam pertemuan dengan Konteleur Out Agam Westennenk; para pemimpin Adat, Agama dan cerdik pandai di Nagari Kamang bersatu menentang aturan pungutan belasting, yang akhirnya melawan penjajah belanda.

2. TANGGAPAN MASYARAKAT KAMANG TERHADAP BELASTING

Pandangan rakyat Kamang tidak berbeda dengan pandangan rakyat Minangkabau pada umumnya, Pemerintah Belanda menerapkan pepatah minang “lalu jarum lalu kulindan”. Setelah dilucutinya segenap kekuasaan dan kedaulatan “kata mufakat” di Minangkabau dengan sebab kekalahan kaum paderi, sesudah dilakukannya monopoli-stelsel, penanaman kopi dengan paksa dan penjualan kepada Kompeni dengan paksa pula, sesudah diadakannya pangkat-pangkat Laras yang menjadi susunan feodal baru tidak pernah dikenal oleh orang Minangkabau selama ini, sesudah rakyat dikerahkan dengan paksa pula bekerja rodi, maka sekarang dimulainyalah menerapkan peraturan baru berupa pungutan pajak langsung yang lebih dikenal dengan belasting. Belasting sangatlah menusuk perasaan ninik mamak dan seluruh kaum adat. Mereka mulai mengerti/menyadari bahwa kaum adat dan kaum agama tidak dapat dipisahkan. Dibeberapa negeri, yang tidak mempunyai orang yang mampu untuk mengerahkan rakyat, karena kekesalan hati, maka banyak mereka yang pindah. Adapun di nagari yang kokoh persatuan diantara ulama dengan ninik mamak, tidaklah mereka pindah secara besar-besaran, tetapi mereka bermufakat mengatur perlawanan, namun perlawanan tidak terkoordinasi serta belum adanya persatuan yang kuat antar nagari, sehingga satu persatu dapat dikalahkan. Beberapa nagari mengadakan pemberontakan, diantaranya yang paling terkenal ialah di Kamang.

Walaupun Kamang sudah ditaklukan Belanda dalam Perang Paderi pada Juli 1833 namun semangat anti penjajahan rupanya tidak hilang begitu saja. Selama berselang waktu tiga perempat abad kemudian dikeluarkannya peraturan pungutan Blasting oleh Belanda, rakyat Kamang mulai menyusun kembali barisan untuk menentang penjajah Belanda dengan dikomandoi oleh pimpinan Adat, Agama dan Cerdik Pandai serta Kaum Ibu. Sekembalinya Garang Dt. Palindih dari Kantor Tuan Luak Agam, beliau singgah kerumah saudara perempuannya di Pintu Koto yang bernama Gadua (sebagai Bundo Kanduang Nagari Kamang). Laras menyampaikan isi hatinya mengenai rapat dengan Westennenk. Garang Dt. Palindih menitik beratkan segala masalah yang akan diterima setelah terang-terangan menentang pelaksanaan pungutan Pajak. Pada waktu itu hadir pula seorang pemuda kemenakan Laras sendiri yang bernama A. Wahid Kari Mudo. Dia termasuk orang yang disegani dikalangan cerdik pandai Nagari Kamang. Ketika diminta pendapatnya tentang pungutan pajak tersebut, langsung dijawab oleh Kari Mudo dengan terus terang bahwa dia tidak setuju. Mereka berjanji akan menyerahkan persoalan ini kepada rakyat banyak. Setelah beberapa lama melihat situasi yang berkembang ditengah masyarakat banyak, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa masyarakat Kamang dapat dikatakan 100% menolak pungutan pajak ini. Menentang Pajak berarti menentang pemerintah kompeni belanda, dengan tegas anti penjajah. Akhirnya Laras dan Abdul Wahid Kari Mudo membawa masalah ini kepada Basa nan Barampek seterusnya dibawa dalam sidang lengkap Ninik Mamak Kanagarian Kamang (sekarang Kamang Hilir). Atas dasar cupak nan salingka suku, adat nan salingka nagari, dimana Kamang sebagai penerus adat Koto Piliang, hirarkhinya adalah Basa nan Barampek, Pucuak nan Duo Puluah duo, Bungka nan Tangah Lapan Puluah merupakan pimpinan tertinggi tradisional ditengahtengah masyarakat, dan sesuai dengan suasana yang berkembang dalam rapat dan melihat fakta yang ada di lapangan maka diangkatlah M.Saleh Dt.Radjo Pangulu sebagai pimpinan perlawanan menghadapi belanda. Untuk mensosialisasikan Blasting kepada masyarakat, Westennennk sudah berulangkali mengunjungi Tuangku Lareh Kamang. Rapat diadakan di rumah Angku Lareh di Joho. Angku Lareh yang bijaksana selalu menghadapi Westennenk bersama pemimpin rakyat, baik dari golongan adat, agama dan cerdik pandai. Dalam suatu pertemuan dengan Westennenk pada tanggal 20 April 1908 yang dihadiri oleh para pemimpin dan rakyat. Kari Mudo menyampaikan pidato bahwa siapa yang membayar pajak adalah kafir. Ikut juga manyambah kato Dt.Adua, Dt Rajo Alam dari Pauh dan Dt.Makhudun dari Ilalang. Dalam pertemuan Westennenk yang paling keras memberikan kecaman adalah Dt.Rajo Pangulu. Atas nama rakyat Kamang dia menyampaikan protes keras, bahwa blasting sama sekali tidak sesuai dengan kehidupan yang miskin dan melarat akibat tanaman kopi dan kerja rodi yang berketerusan. Dia meminta supaya keputusan itu dirobah kembali. Setelah melalui perdebatan yang alot, Dt.Rajo pangulu sampai pada suatu kesimpulan yang berupa tantangan kepada pemerintah Kolonial. Rakyat tidak akan membayar pajak. Sekarang mau apa? Esa hilang dua terbilang, musuh tidak dicari bertemu pantang dielakan. Sementara itu Dt.Rajo Penghulu sendiri yang sudah sejak lama memahami semangat dan aspirasi rakyat Kamang juga bertekad tidak akan mengecewakan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya itu. Bukti ini semakin terlihat ketika suasana Kamang sudah dipenghujung saat meletusnya Perang Kamang yang termasyhur itu. Dt. Radjo Penghulu, Kari Mudo dan H. Abdul Manan, bersamasama dengan pemimpin Kamang lainnya antara lain, Dt. Siri Marajo, H.M.Amin, Dt. Mangkudun dan Siti Asiah dari kaum ibu, berhasil menggelorakan semangat rakyat, berikrar memusatkan perlawanan dan memekikan anti penjajahan, dengan semboyan “perang adalah jalan yang terbaik dan bukan sia-sia sekalipun kalah”, sehingga pasukan rakyat seolah-olah mempunyai kekuatan gaib menghadapi perang menempuh maut tanpa ragu. Sementara itu Wahid Kari Mudo bersama Haji Jamik pada pertengahan Mei 1908 berusaha menemui Dt. Mudo di  Payakumbuh, Syekh Koto Baru dan Pado Kayo di Suayan untuk meminta petuah dan sekaligus penangkal untuk persiapan serta mencari dukungan (personil) menghadapi peperangan yang tidak lama lagi. Sebagai persiapan lebih lanjut diadakan rapat di Surau Tuangku Pincuran yang dihadiri oleh Dt. Makhudun, Kari Mudo, Dt.Rajo Pangulu, Tuangku Sutan dan Dt.Tan Basa (Penghulu Suku dari Babukik), dengan kesesuian paham lagi untuk tidak membayar Pajak. Pada hari Selasa tanggal 2 Juni 1908 di Mesjid Taluak (Kamang) diadakan rapat yang dihadiri oleh utusan-utusan dari Agam Tuo, Lubuk Basung, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar dan lain-lain. Rapat langsung dipimpin oleh M. Saleh Dt.Rajo Pangulu dengan keputusan rapat Kebulatan Tekad Melancarkan Aksi Untuk Menentang Belanda. Dt. Rajo Pangulu bersama-sama dengan tokoh Kamang lainnya menggerakan dan menghidupkan semangat patriotisme di Kamang serta memesan senjata ke Salo. H. Abdul Manan membawa kata sepakat dan menyusun perlawanan di Bukik (Bansa-Pauh = Kamang Mudiak sekarang), Wahid Kari Mudo memberikan ransangan kepada kaum muda disamping sebagai intelijen. Pada tanggal 11 Juni 1908 diadakan pertemuan di surau H.Abdul Manan, yang dihadiri antara lain Haji Amat (putra H.Abdul Manan), Maruhun Putiah, Dt. Rajo Pangulu, si Hitam, Dt. Marajo, Siti Asiah dan murid/pengikut H. Abdul Manan. Beliau meminta semua jangan ragu mati syahid dan kalau dia sendiri tewas agar perjuangan diteruskan. Beliau yakin dapat menghadapi Belanda dengan segala akibatnya walaupun pada saat-saat terakhir banyak pengikutnya yang menarik diri. Apa yang telah disampaikan diatas adalah merupakan tahapan atau rangkaian persiapan menghadapi perang dengan belanda yang meletus tanggal 15 Juni 1908 yang lebih di kenal dengan Perang Kamang.

PUNCAK PERANG KAMANG

Perang Kamang 1908 adalah perang terbuka yang meledak 15 juni 1908 dan merupakan salah satu puncak dari kemelut susana anti penjajahan rakyat Sumatera Barat menentang penjajahan Belanda. Namun sebelum masuk pada uraian detik-detik jalannya Perang Kamang 15 Juni 1908 dalam bentuk penyerbuan besar-besaran pasukan rakyat terhadap Belanda, terlebih dahulu ada hal yang sangat penting di garis bawahi :

1. Bahwa apa yang di kemukan disini adalah semata-mata berdasarkan fakta yang terkumpul, KHUSUS YANG BERKAITAN DENGAN PERLAWANAN RAKYAT KAMANG.

2. Bahwa dengan tujuan sengaja tidak ingin keluar dari pokok tulisan semula yaitu memproyeksikan setiap rangkaian peristiwa pada Kamang Sebagai Subjek sejarah, maka sasaran intinya lebih dititik beratkan ke arah bentuk eksistensi seluruh Masyarakat Kamang dan Pimpinannya.

Masalah ini perlu di tekankan, mengingat Kelarasan Kamang mempunyai kawasan meliputi Kanagarian Kamang (sekarang Kamang Hilir) Kenagarian Surau Koto Samiak (sekarang Kamang Mudiak), Suayan dan Sungai Balantiak, dengan pusat pemerintahan kelarasan dimana seluruh aktifitas kepemimpinan Lembaga Adat, keagamaan dan lain-lain di atur, terletak di Kenagarian Kamang Hilia.

J.Westennenk secara berturut-turut masih berusaha mendatangi rakyat Kamang mengenai perdebatan mengenai persoalan itu ke itu juga, malah lebih menambah kebencian dan memperkukuh semangat aksi rakyatterhadap belanda, yang sebenarnya pada masa itu sedang mengalami guncangan politik yang rata-rata melanda Negara Eropa Barat.

Pada hari Senin tanggal 15 Juni 1908 seorang warga Magek datang ke Kantor Laras untuk membayar Belasting. Ia langsung dihadang oleh sekelompok warga setempat, diancam akan dibunuh jika ia tetap membayar belasting, karena ia melanggar tekad bersama untuk menentang Belanda. Laras Magek (yang bernama Warido) marah dan segera menyampaikan hal ini kepada J.Westennenk dan meminta supaya pembangkang ditangkap. Westennenk menghubungi Gubernur Hecler untuk meminta petunjuk, hanya sepatah kata yang diucap Hecler sesuai perintah Gubernur General Van Heutez, yaitu “serbu”.

Apa yang terjadi pada tengah malam sampai dini hari tanggal 15 dan 16 Juni 1908 dapat dibaca dalam laporan Gubernur Sumatera Barat Hecler kepada Gubernur General Van Heutez:

“Kemarin patroli di Bukittinggi dibawah Westenenk untuk menangkap para pemimpin di berbagai kampung. Baru saja datang kawat dari pejabat residen Bovenlanden, minta bantuan tentara karena tadi malam terjadi perkelahian hebat di Kamang. Sepuluh kali rakyat menyerang dengan senjata tajam. Pihak kita mati 9, 13 luka-luka. Dari pihak rakyat 90 mati. Tentara sangat letih karena aksi selama 12 jam, 4 brigade marsose dikirim dari Padang Panjang ke Bukittinggi. Patroli Westennenk sewaktu menggeledah rumah-rumah diserang oleh 25 orang berpakaian putih yang mulamula sembunyi dibelakang rumah : 5 serdadu dan 2 pribumi mati Kemudian dijalan, tentara diserang 50 orang dengan kelewang, mereka semua mati, Antara yang meninggal adalah Datuk Rajo Pangulu dan lain-lain pemimpin termasuk 2 wanita. Kemudian Penghulu Kepala Ilalang yang sudah pensiun dibunuh beserta 5 kuda dan rumahnya dibakar. Datuk Parpatih ditangkap di Magek. Dia sempat membunuh Warido dan Pengulu Kepala Tigo Lurah, melukai 2 serdadu”. (Pemberontakan Pajak 1908, Rusli Amran, hl 142-143).

Untuk lebih detilnya apa yang terjadi di Kamang pada tanggal 15 Juni 1908 tersebut, dapat diketahui dari laporan Kontrolir Westennenk pada Gubernur Heckler. Westennenk melaporkan bahwa keadaan di Kamang dan di Magek sangat serius, tidak menguntungkan dan diharap tindakan segera diambil dengan menangkap para pengacau yang akan dilakukan melalui 3 patroli tentara. Kemudian setelah diadakan penangkapan-penangkapan di Tangah, kita tunggu apa yang akan dikerjakan penduduk. Sebelum berangkat untuk patroli, Kepala Laras Tilatang melaporkan kepada Westennenk bahwa H. Abdul Manan mempunyai 30 sampai 50 murid yang telah diberi jimat dan sedia mati. Para Pandai Besi di Koto Baru mendapat begitu banyak pesanan senjata tajam, sehingga tidak dapat terpenuhi semuanya. Kepala Laras Kamang mengingatkan kepada rakyatnya bahwa kompeni akan datang pada hari senin. Rakyat yang mendapat khabar demikian segera mempersiapkan diri menanti kedatangan pasukan belanda. Kain kafan dibagikan. Pada sore harinya orangorang di Kamang (terutama di Tangah) memakai pakaian bagus karena mereka tidak membutuhkan pakaian lagi.

Westennenk mengerahkan 160 pasukan, 30 orang masuk dari Gadut yang dipimpin oleh Letnan Heyne dan Cheriek; 80 orang masuk dari Tanjung Alam dipimpin oleh J.Westennenk; 50 orang masuk lewat Biaro dipimpin oleh Letnan Boldingh dan Letnan Schaap. Di sepanjang perjalanan terjadi perlawanan rakyat, diantaranya yang cukup hebat adalah di Magek yang dipimpin oleh Dt.Perpatiah. Menyinggung sedikit tentang perlawanan di Magek dibawah pimpinan Dt.Perpatiah; Laras Magek setelah melapor kepada J.Westennenk bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Boldingh dan Letnan Schaap yang masuk lewat Biaro. Sesampai di Kubualah pasukan ini membelok ke Magek. Pasukan inilah yang terlibat pertempuran dengan pasukan rakyat Magek dibawah pimpinan Dt.Perpatiah. Dalam pertempuran tersebut Dt.Perpatiah berhasil membunuh Laras Warido sebelum ia tewas ditembus peluru Pasukan Belanda. Dt.Parpatiah dan beberapa pengikutnya gugur sebagai Pahlawan Bangsa.

Pada senja hari, Belanda mulai bergerak mengepung rumah H. Abdul Manan untuk menangkapnya, karena pada masa itu Belanda juga beranggapan yang menjadi dalang pergolakan adalah kaum agama, tetapi beliau berhasil meloloskan diri ke Kamang. Sesampai di Kamang H. Abdul Manan segera menemui Dt. Rajo Penghulu untuk berkonsultasi. Dt.Rajo Pangulu mengadakan rapat kilat yang dihadiri oleh Kari Mudo, H. Abdul Manan dan beberapa tokoh pejuang Kamang lainnya membahas perkembangan yang kritis dan menyusun kesiagaan seluruh rakyat guna mengobarkan perang sabil. Menjelang pukul 00.00 diterima informasi bahwa pasukan Belanda berkumpul di Kampung Tangah (perbatasan Kamang dengan Bukik). Dari segi  militer daerah ini memang strategis. Selain dikelilingi oleh persawahan yang membuat pemandangan ke jalan raya satusatunya, dan juga penduduknya tidak seberapa. Ini disadari benar oleh Dt. Rajo Penghulu. Dia mulai menyiapkan pasukan tempur; beduk, tong-tong dan bunyian lainnya dibunyikan di setiap kampung, pertanda perang akan dimulai.

Pasukan rakyat dari seluruh kampung yang ada di Nagari Kamang dengan jumlah ratusan orang dipimpin lansung oleh M.Saleh Dt.Rajo Penghulu, terlebih dahulu berkumpul di Mesjid Taluak untuk menerima penjelasan/instruksi penting sebelum dibagi dalam beberapa kelompok. Kelompok yang terbesar adalah yang dipimpin oleh Kadi Abdul Gani. Setelah selesai Shalat berjemaah lalu ditutup dengan pekik Allahu Akbar, Laailahaillallah, mereka menuju Kampung Tangah menyerang pasukan Belanda. Untuk menuju Kampung Tangah mereka lewat bukan melalui jalan raya, melainkan memilih jalan pintas yaitu dari Taluak melalui Bungo Tanjuang, melalui areal persawahan, Dalam Koto, Rawang dan Koto Panjang. Dalam rombongan tersebut ikut 2 (dua) orang wanita yaitu Siti Asiah istri Dt.Rajo Penghulu dan Siti Anisah istri Nan Basikek. Kelompok yang pertama kali melakukan penyerangan tehadap seserdadu adalah kelompok yang dipimpin oleh Malin Manangah. Serangan tertuju pada seksi yang dipimpin oleh Sersan Schreuder, yang menewaskan 4 serdadu jawa dan 2 serdadu melayu. Diantara keremangan malam, J.Westennenk dari tempatnya berada bersama pasukannya melihat semua pasukan rakyat ini, bahkan juga sudah mengenal bayangan Dt.Rajo Pangulu bersama dengan pemimpin lainnya. Dia masih belum, mau bertindak karena dia masih punya harapan untuk membujuk kemarahan rakyat. Lantas dia berteriak menyuruh pasukan rakyat pulang kembali mengingat kekuatan kompeni cukup banyak dengan personoil dan senjatanya. Dia juga mengingatkan segala kemungkinan bisa terjadi sekiranya pasukan rakyat masih bermaksud maju terus. Namun seruan itu segera pula dijawab dengan tegas oleh Dt.Rajo Pangulu bahwa pasukan rakyat tidak akan mundur setapakpun dan bersedia mati syahid. Pasukan rakyat masih terus berangsur maju mendekati tentera belanda. Setelah jarak musuh lebih kurang 50 meter, Westennenk memerintahkan pasukannya untuk menembak, bersamaan dengan itu pasukan rakyat dengan senjata rudus ditangan menyerang dengan cepatnya. Sebagian mereka tewas kena peluru tentara Belanda. Sebagian lagi mereka berhasil memasuki kelompok tentara belanda dan menyerangnya habis-habisan, membuat tentara belanda kucar-kacir. Pasukan Westennenk tidak menyangka ini bisa terjadi, mulai mundur. Perwira kesehatan Dr.Justesen dan Sersan Boorsma berusaha keras mencegah tentara mundur, ketika menyaksikan seorang penyerang membelah kepala seorang sersan. Kemudian dari arah lain beberapa orang penyerbu juga berhasil memasuki kelompok tentara. Terdengar beberapa kali tembakan disusul jatuh empat orang diantara mereka. Tetapi belasan yang luput langsung menghabisi para serdadu tanpa ampun. Begitulah pasukan rakyat menyerang tentara belanda sampai sepuluh kali serangan. dengan berkelompok yang terdiri dari 20 sampai 30 orang. Serangan yang sangat serius adalah serangan gelombang ke 8 karena dilakukan dalam jumlah yang besar. Dalam kesimpulan laporan resmi J.Westennenk kepada Gubernur General Van Heutsz di Batavia melalui surat kawat tanggal 17 juni 1908, disusul laporan Gubernur Sumatera Barat Heckler nomor 1012 tanggal 25 Juni 1908, dia melukiskan malam itu seumpama satu malam dimana jurang antara ras manusia dengan segala kekuasaannya tidak ada lagi. Yang ada Cuma kelompok kemarahan yang saling bertentangan dengan buas dan siap untuk saling membunuh. Bertepatan fajar menyingsing pasukan belanda mendapat bala bantuan tentara dari Bukittinggi, mereka datang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga babak kedua perang basosoh segera meledak kembali. Akan tetapi lantaran pasukan itu terlalu banyak dan segar-segar, dilengkapi pula dengan senjata modern, akhirnya pasukan rakyat terpaksa mengundurkan diri. Maka tercatatlah pagi itu sebagai sejarah berkabut di hati setiap bangsa Indonesia di dalam menentang kolonial Belanda. M.Saleh Dt.Rajo Pangulu bersama 69 orang anggota pasukan rakyat syahid sebagai pahlawan bangsa, diantaranya terdapat dua orang srikandi yaitu siti Asiah istri Dt.Rajo Pangulu dan Siti Anisah. Selain itu mengalami cacat tercatat 20 orang. Dibawah komando Tuangku Lareh, semua pejuang dari Kamang yang gugur dibawa kembali ke Kamang dan dimakamkan dekat mesjid Taluak. Waktu pemakaman dilaksanakan, khusus untuk makam Panglima Perang (M.Saleh Dt. Rajo Pangulu) dan Siti Asiyah (istri M.Saleh Dt.Rajo Pangulu) sebagai Srikandi Perang Kamang dibuat berdekatan. Makam tersebut telah resmi menjadi Makam Pahlawan. Diresmikan oleh Wampa Bidang Pertahanan dan Keamanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB) Bapak Jendral A H Nasution pada tanggal 15 Juni 1963, dengan nama MAKAM PAHLAWAN PERANG KAMANG 15 JUNI 1098. Setelah berlangsung penyerangan gelombang kedua oleh Pasukan Rakyat Kamang terhadap tentara Belanda di Kampung Tangah. Pasukan rakyat Nagari Bukik (Bansa-Pauh) yang digerakan oleh H.Abdul Manan dan kawan-kawan yang datang dari arah Bansa, terlebih dahulu membakar rumah Penghulu Kepala Hilalang dan membunuh ayahnya (Jamil Dt.Tumanggung, bekas penghulu Kepala Hilalang), membunuh 5 ekor kudanya. Setelah itu baru mereka menyerang Tentara Belanda berbarengan dengan pasukan rakyat kamang. Akan halnya H.Abdul Manan bersama para pengikutnya langsung ditembak mati keesokan harinya dikampung kelahiran beliau di Bansa. Pasukan rakyat dari nagari ini yang tewas dan luka adalah sebanyak (menurut catatan Westennenk tewas sebanyak 13 orang dan luka 3 orang, daftar terlampir). Semua Pahlawan yang tewas dari nagari ini, semuanya dimakamkan di Kampung Budi. Sekarang makam tersebut telah masuk Situs Sejarah dengan nama MAKAM ABDUL MANAN. Beberapa pemimpin rakyat lainnya dari nagari ini ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda, diantaranya H. Ahmad Marzuki.

 Daftar nama Walinagari Kamang Hilia mulai Tahun 1870 sampai dengan sekarang  yaitu:

No. Nama Walinagari Periode
1 Dt. Karando (Lareh) 1870 s/d 1890
2 Garang Dt. Palindih (Lareh ) 1890 s/d 1908
3 Dt. Siri Maradjo 1906 s/d 1908
4 Dt. Kayo 1908 s/d 1913
5 Dt. Maradjo 1913 s/d 1922
6 Mhd. Ramali Dt. Nan Laweh 1923 s/d 1926
7 Dt. Sati 1927 s/d 1928
8 Mhd. Isa Labai Sutan 1929 s/d 1931
9 Intan Dt. Tan Marajo 1932 s/d 1936
10 Syukur Dt. Mangkuto Marajo 1937 s/d 1946
11 Kanan Dt. Mangkudun 1946 s/d 1947
12 Mukhtar Said St. Rajo Sikumbang 1947 s/d 1948
13 A. Dailami Dt. Rajo Marah 1948 (± 6 Bulan)
14 Zainal Abidin 1949 s/d 1950
15 H. Bustamam 1950 s/d 1951
16 Danial Dt. Rajo Mangku 1959 (± 6 Bulan )
17 Sjofyan Dt. Bajanjang Batu 1959 s/d 1961
18 Jansima St. Saidi 1961 s/d 1962
19 Bartas St. Sajatino 1962 s/d 1965
20 Mhd. Kamil St. Batuah P 1 : 1951 s/d 1959
    P 2 : 1966 s/d 1970
21 Arinal St. Palimo 1971 s/d 1974
22 Muchlis Pangulu Kayo 1974 s/d 1976
23 Tibran St. Asa Batuah 1976 s/d 1979
24 Akhyar Khatib Malano 1979 s/d 1983
25 Safnis Bagindo Maralam 2001 s/d 2002
26 Herman St. Majo Indo 2002 s/d 2003
27 Baktiwan Dt. Tundiko 2003 s/d 2006
28 Zamharil Dt. Bilang Kuniang 2006 s/d 2010
29 Mastur St. Majolelo 2011 s/d 2017
30 Khudri Elhami,S.Pt 2017 s/d sekarang

Menu